Friday 24 June 2011

Bencana Alam Di Indonesia

Bencana alam


Bencana alam adalah konsekuensi dari kombinasi aktivitas alami (suatu peristiwa fisik, seperti letusan gunung, gempa bumi, tanah longsor) dan aktivitas manusia. Karena ketidakberdayaan manusia, akibat kurang baiknya manajemen keadaan darurat, sehingga menyebabkan kerugian dalam bidang keuangan dan struktural, bahkan sampai kematian. Kerugian yang dihasilkan tergantung pada kemampuan untuk mencegah atau menghindari bencana dan daya tahan mereka[1]. Pemahaman ini berhubungan dengan pernyataan: "bencana muncul bila ancaman bahaya bertemu dengan ketidakberdayaan". Dengan demikian, aktivitas alam yang berbahaya tidak akan menjadi bencana alam di daerah tanpa ketidakberdayaan manusia, misalnya gempa bumi di wilayah tak berpenghuni. Konsekuensinya, pemakaian istilah "alam" juga ditentang karena peristiwa tersebut bukan hanya bahaya atau malapetaka tanpa keterlibatan manusia. Besarnya potensi kerugian juga tergantung pada bentuk bahayanya sendiri, mulai dari kebakaran, yang mengancam bangunan individual, sampai peristiwa tubrukan meteor besar yang berpotensi mengakhiri peradaban umat manusia.
Namun demikian pada daerah yang memiliki tingkat bahaya tinggi (hazard) serta memiliki kerentanan/kerawanan (vulnerability) yang juga tinggi tidak akan memberi dampak yang hebat/luas jika manusia yang berada disana memiliki ketahanan terhadap bencana (disaster resilience). Konsep ketahanan bencana merupakan valuasi kemampuan sistem dan infrastruktur-infrastruktur untuk mendeteksi, mencegah & menangani tantangan-tantangan serius yang hadir. Dengan demikian meskipun daerah tersebut rawan bencana dengan jumlah penduduk yang besar jika diimbangi dengan ketetahanan terhadap bencana yang cukup.

Jenis bencana alam

[sunting] Bencana alam di darat

[sunting] Longsor salju
[sunting] Pemanasan Global
[sunting] Gempa bumi
[sunting] Lahar
[sunting] Gunung meletus
[sunting] Kebakaran liar

[sunting] Bencana alam di air

[sunting] Banjir
[sunting] Tsunami

[sunting] Bencana alam terkait cuaca

[sunting] Badai salju
[sunting] Hujan es
[sunting] Siklon tropis
[sunting] Tornado
[sunting] Kemarau
[sunting] Gelombang panas

[sunting] Bencana alam terkait kesehatan

[sunting] Epidemik
[sunting] Kelaparan

[sunting] Bencana alam di ruang angkasa

[sunting] Ledakan sinar gamma
[sunting] Tabrakan
[sunting] Semburan matahari
[sunting] Supernova
[sunting] Hypernova
Menghitung Kerugian Akibat Bencana Alam

BENCANA alam di seluruh dunia menimbulkan kerugian ekonomi hingga US$ 140
miliar sepanjang 2004. Itulah angka yang dihitung oleh perusahaan reasuransi
Munich Re Group. Kelompok ini kemudian menyimpulkan 2004 sebagai tahun termahal
dalam hal pembayaran klaim asuransi akibat bencana alam, mencapai jumlah US$ 40
miliar.
Laporan itu mungkin tidak bicara apa-apa bila hanya bicara untung rugi, atau
berapa yang harus dibayar oleh siapa. Namun, hal yang penting dan mendesak
untuk kita perhatikan bersama adalah bahwa kerugian sedemikian besar yang harus
ditanggung pihak asuransi sangat terkait dengan cuaca dan perubahan iklim
global. Artinya, ke depan kerugian akan semakin besar, kalau tidak ada upaya
serius oleh masyarakat dunia untuk mengatasi kerusakan alam maupun pencemaran
lingkungan bumi.
Menariknya, perusahaan-perusahaan asuransi itu banyak merugi di kawasan-kawasan
luar Asia, khususnya Amerika Utara dan Selatan, terutama akibat angin taufan
yang rutin melanda kawasan tersebut, dan biasanya disertai banjir. Sedangkan di
kawasan-kawasan Asia kerugian yang ditanggung oleh pihak asuransi relatif lebih
kecil, karena umumnya hanya Jepang (yang kerap dilanda topan dan gempa) yang
mengasuransikan properti mereka untuk risiko bencana alam.
Ini karena kesadaran berasuransi di negara itu sudah tinggi, dan secara ekonomi
masyarakat di sana sanggup membayar premi asuransi. Padahal, berbagai bencana
alam di wilayah Asia yang lain juga menimbulkan kerugian nyawa, harta dan benda
yang tidak kalah.
Di negara kita berbagai perusahaan asuransi banyak membayar klaim ketika pecah
bencana banjir pada Februari 2002 yang menenggelamkan Jakarta. Namun, lebih
banyak lagi yang tidak mengasuransikan diri, sehingga kerugian yang harus
ditanggung sendiri oleh masyarakat jauh lebih besar. Dari fenomena ini kita
bisa simpulkan bahwa, buat sebagian besar masyarakat kita, kerugian akibat
bencana alam yang bisa diprediksi seperti banjir harus diterima sebagai sesuatu
yang rutin dan biasa.
Terlepas dari itu, kini kita harus mulai awas dan waspada bahwa
kerusakan-kerusakan yang dialami oleh masyarakat akibat bencana alam di negeri
kita dari tahun ke tahun semakin buruk dan buruk. Pola dan jenis bencana masih
sama, yakni kebakaran hutan, banjir, tanah longsor atau gempa bumi. Bahkan ada
jenis bencana baru yang belakangan ini mulai akrab dengan masyarakat kita
adalah: angin puting beliung. Untuk yang terakhir ini kerusakan maupun korban
belum terlalu parah, namun frekuensinya mulai tinggi. Ini artinya perubahan
iklim dan kerusakan lingkungan hidup mulai berpengaruh pada timbulnya angin
puting beliung di sejumlah daerah di Indonesia.
Di luar bencana gelombang tsunami yang meluluhlantakkan sepertiga wilayah
pesisir provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dan sebagian wilayah P Nias di
Sumatra Utara, kita melihat banjir kini makin luas jangkauannya tidak lagi
terbatas pada daerah-daerah yang rutin kebanjiran setiap tahunnya. Di Pulau
Sumatra, semakin banyak titik-titik di peta yang memperlihatkan daerah terkena
banjir. Begitu pun di Kalimantan. Kita semua setuju bahwa itu semua akibat
pembabatan hutan secara liar atau ilegal.
Kerusakan hutan kita sudah demikian parah sehingga hanya menyisakan bencana
alam. Namun itulah kenyataannya, bahkan kita di Indonesia sangat sering pendek
ingatan terhadap berbagai bencana alam, yang jelas salah satu penyebabnya
adalah keteledoran dan keserakahan manusia. Diperkirakan selama 2004 kerugian
negara berupa kerusakan hutan akibat illegal logging mencapai Rp 45 triliun,
sementara biaya yang harus dikeluarkan untuk menanggulangi bencana itu mencapai
Rp 8 triliun. Artinya, angka kerugian masyarakat akibat bencana alam jauh lebih
besar dari nilai-nilai itu.
Kerusakan hutan memang penyebab utama berbagai bencana alam. Ironisnya, sampai
hari ini pun kita belum mampu menekan angka laju kerusakan hutan yang kini
mencapai 2,4 juta hektare/tahun (bandingkan pada 1985-1998 laju kerusakan hutan
1,6-1,8 juta hektare/tahun, pada 2000 degradasi hutan sudah masuk kisaran 2
juta hektare/tahun). Bencana tsunami akhir Desember lalu menyadarkan masyarakat
dunia, khususnya di negara-negara yang punya iklim tropis, mengenai pentingnya
mempertahankan hutan mangrove sebagai benteng hidup, sekaligus mencegah
kerusakan alam di kawasan pesisir.
Sementara itu, kita, sampai kini tidak pernah tegas terhadap pengrusakan
hutan-hutan mangrove untuk dikonversi menjadi tambak, permukiman atau kawasan
wisata. Hari-hari ini, illegal logging semakin marak di wilayah kita, bahkan
Cina kini menjadi penghasil produk kayu yang canggih, memanfaatkan kayu-kayu
curian dari hutan-hutan kita. Sementara itu, industri furnitur kita kekurangan
bahan baku, dan mulai kalah bersaing di pasaran dunia.
Itu semua adalah contoh-contoh kerugian dan kehancuran yang kita alami, hanya
karena kita tidak mampu menjaga hutan. Kunci dari berbagai masalah itu adalah
penegakan hukum dan kesadaran semua pihak untuk memberantas korupsi. Kerusakan
alam dan bencana alam, terutama banjir, hanyalah dampak tidak langsung dari
berbagai praktek korupsi berjemaah yang berlangsung di negara ini.
Mari kita teliti, apakah sudah ada hasil penyelidikan mengenai penyebab musibah
banjir bandang di Bukit Lawang, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara, yang
menewaskan lebih 250 jiwa dan kehancuran kawasan wisata itu? Padahal sudah
banyak dikemukakan fakta bahwa kerusakan hutan di Taman Nasional Gunung Leuser
akibat kegiatan illegal logging sudah demikian parah. Kita semua tahu untuk
menjarah hutan tidak bisa sendirian, semakin banyak orang terlibat semakin aman
dan nyaman melakukan aksi terkutuk ini.
Suatu kenyataan pahit, bahwa kita menyaksikan alam kita dijarah dan dirusak
tanpa bisa berbuat apa-apa, dan itu melibatkan aparat penegak hukum dan
pemerintah. Bencana alam merupakan indikasi yang sangat nyata betapa korupsi
menghancurkan dan menyengsarakan rakyat. Akhirnya, kerugian yang diderita
sebagian rakyat Indonesia akibat bencana alam, jauh lebih besar dibandingkan
dengan keuntungan dan manfaat yang diperoleh negara dari kegiatan ekonomi yang
merusak lingkungan.

Salah Satunya Gempa adalah contoh Akibat bencana alam